Senin, 17 Agustus 2015

Implikasi Globalisasi Terhadap Kehidupan Perempuan


Buku karya Susan George, The Lugano Report (edisi baru 2003),  merefleksikan persoalan  pertautan feminisme dengan globalisasi. Dalam buku tersebut, Susan George membuat skenario di mana sekelompok perwakilan industri maju, menugaskan beberapa ilmuwan terkemuka dari latar belakang akademik yang berbeda-beda membuat riset mengenai bagaimana mempertahankan kapitalisme pada abad ke-21. Setelah bekerja keras setahun penuh sejak November 1996 – November 1997 disebuah tempat peristirahatan di Lugano, Swiss.  Hasil riset menunjukkan salah satu persoalan terbesar yang potensial mengganggu kapitalisme global adalah pertumbuhan penduduk. Dengan tingkat pertumbuhan penduduk dunia seperti saat ini, kapitalisme akan terhambat karena kekurangan bahan baku, lingkungan rusak, daya beli merosot, dan ancaman konflik sosial. Solusi yang ditawarkan para ahli tersebut demikian : Bila kapitalisme global hendak dilanggengkan, jumlah penduduk dunia yang sekarang berjumlah sekitar 6 miliar harus dikurangi menjadi 4 miliar. Artinya, 2 miliar penduduk dunia ini sebenarnya tidak dibutuhkan. 

Sementara PBB memperkirakan jumlah penduduk dunia nanti pada tahun 2020 akan menjadi 8 miliar, padahal jumlah penduduk ideal menurut para ahli tersebut tidak lebih dari 4 miliar. Untuk mewujudkannya dalam jangka waktu 20 tahun sejak sekarang, pertambahan penduduk dunia harus dicegah dan dikurangi sebanyak 4 miliar. Persyaratan ini 133 kali lebih ambisius dari pada Holocaust, program genosida 6 juta orang dalam jangka waktu 4 tahun.[1]   Jika solusi Lugano diterapkan maka jelas sasarannya adalah orang-orang miskin. Data UNDP 1999 menunjukkan bahwa jumlah orang miskin yang hidupnya kurang dari 1 dollar AS sehari meningkat dari 1,197 milyar pada tahun 1987 menjadi 1,214 milyar pada tahun 1997 atau sekitar 20% dari penduduk dunia.  Duapuluh lima persennya lagi (sekitar 1,6 milyar) dari penduduk dunia bertahan dengan 1-2 dollar AS setiap hari.  Kemiskinan yang mendera berakibat setiap hari 11.000 anak mati kelaparan di seluruh dunia, sedangkan 200 juta anak menderita kekurangan gizi, protein, dan kalori (satu dari empat anak di dunia). Selain itu lebih dari 800 juta orang menderita kelaparan kronis di seluruh dunia. Kira-kira 70% dari mereka adalah anak-anak dan perempuan.[2]


[1] B. Hari Juliawan, Keretaku Tak Berhenti Lama, Majalah BASIS, No. 05 – 06, Tahun ke-53, Mei – Juni 2004, hal. 9 - 10
[2] Amalia Pulungan dan Roysepta Abimanyu, Bukan Sekedar Anti-Globalisasi, Jakarta, IGJ, 2005, hal. 169-170

Pariwisata Kuba

Pariwisata Kuba
 
Kuba merupakan sebuah negara republik berideologi komunis yang terletak di Karibia Utara dengan pembagian provinsi menjadi 14  dan 1 munisipalititas khusus yang terdiri dari Pulau Kuba, Pulau Pemuda(munisipalitas khusus), dan beberapa pulau pulau kecil lainnya. Kuba menjadi salah satu tujuan destinasi pariwisata dunia karena memiliki banyak wilayah pantai yang indah dan eksotis seperti Havana dan Cayo coco, bangunan dengan arsitektur bergaya spanyol, dan warisan budaya yang berbeda dari tujuan tujuan wisata lainnya. Selain itu, wisata yang ditawarkan Kuba juga tidak hanya sebatas pada keindahan alam dan juga arsitektur tapi juga pada wisata unik lainnya seperti health tourism.
Namun ideologi komunis yang dianut oleh Kuba membuat pemerintah dan masyarakatnya menjadi tertutup serta seringkali pemerintahnya membuat regulasi mengenai pariwisata yang tidak berpihak terhadap wisatawan asing yang datang ke negara itu seperti tourism apartheid yang pernah diterapkan di Kuba. Selain itu,  keberadaan gula sebagai komoditi ekspor utama yang memberi banyak pendapatan bagi negara serta hubungan baik AS dengan Kuba membuat negara ini pada awalnya tidak memfokuskan perhatian terhadap pariwisata. Namun, seiring dengan memburuknya hubungan Kuba dengan AS pasca revolusi Kuba serta memburuknya kondisi perekonomian yang berakibat pada produk nasional bruto pada tahun 1989 mendorong pemerintah Kuba pada tahun 1990an untuk menyusun kembali strategi agar keadaan perekonomian negaranya bisa kembali normal dan stabil[1]. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan melakukan pembenahan infrastruktur dan manajemen sektor publik pariwisata dalam rangka menjadikan sektor pariwisata sebagai sumber pendapatan utama.
Berbagai macam strategi yang di inisiasi oleh pemerintah pusat dalam membenahi sektor pariwisata ternyata mampu menjadikan sektor pariwisata sebagai sumber pendapatan Kuba melebihi pendapatan yang didapatkan dari ekspor gula yang selama ini menjadi salah satu sumber pendapatan utama. Keberhasilan strategi yang diterapkan pemerintah Kuba dalam mengembangkan sektor pariwisatanya mencapai puncak pada tahun 2008 dimana terjadi Tourism Boom di Kuba dengan peningkatan yang cukup signifikan dari tahun sebelumnya yaitu sebesar 9.3%.[2]

MICE Indonesia


Industri pariwisata merupakan salah satu industri yang mendatangkan pemasukan besar bagi pemerintah.Industri pariwisata tidak hanya bergerak dalam sektor pleasure yang menawarkan wisata sebagai pengisi liburan, namun juga bergerak dalam sektor professional yang mampu menjadikan pariwisata sebagai sarana bisnis dan kegiatan professional lainnya.
Industri pariwisata yang bergerak di bidang professional ini biasa disebut MICE (Meeting, Incentive, Conference, and Exhibition). Industri ini cukup diperhitungkan di beberapa negara maju seperti Singapura terlihat dengan diadakannya beberapa exhibition bertaraf internasional seperti Asia Pacific Resources, juga International Jewelry Exhibition yang mampu menghadirkan 20.000 pengunjung dari seluruh penjuru dunia.
Sedangkan perkembangan MICE di Indonesia sendiri tidak terlihat begitu mengesankan.Walaupun sudah cukup banyak konferensi dan pertemuan internasional yang diadakan di berbagai wilayah yang memiliki potensi pariwisata yang cukup menjanjikan, namun itu tidak dinilai berhasil memberikan kesan “internasional” karena dalam kenyataannya pameran-pameran tersebut lebih banyak dikunjungi oleh pengunjung domestik.
Pariwisata di Indonesia sendiri merupakan sektor yang sangat menjanjikan dan mampu menjadi pemberi devisa tertinggi keempat pada tahun 2010 dengan nilai sebesar US$ 7,603.45 juta.Dengan potensi pariwisata yang menjanjikan dan beragam, cukup mengherankan bagaimana Indonesia bisa kalah dalam mengembangkan industri MICE dibandingkan dengan Singapura yang notabene memiliki potensi lebih rendah.Untuk itu, paper ini selanjutnya akan menjelaskan lebih lanjut strategi pariwisata kedua negara melalui exhibition.